Selasa, 09 September 2008

Sebuah renungan (Ibu terburuk di dunia)

20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya
lumayan tampan namun terlihat agak bodoh... Sam, suamiku, memberinya
nama Eric.

Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak
terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk
dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu.
Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.

Ditahun kedua setelah Eric dilahirkan sayapun melahirkan kembali
seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica.
Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami
mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak
yang indah-indah... Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya
memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun
saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam
selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur
4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang
yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan
membuat saya menyesal seumur hidup.

Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya dengan beserta Eric
yang sedang tertidur lelap. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk
setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang.

Setahun..., 2 tahun..., 5 tahun..., 10 tahun... telah berlalu sejak
kejadian itu. Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria
dewasa. Ia adalah seorang pastor di gereja St. Maria. Usia pernikahan
kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya
yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi
sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.

Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama
putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan
tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam... Malam dimana saya bermimpi tentang seorang
anak... Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali... Ia melihat
ke arah saya.

Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya?
Saya lindu cekali pada mommy!"
Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya,
"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu.
Siapa namamu anak manis?"
"Nama saya Elic, Tante."
"Eric...? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric???"

Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai
perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba
terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film
yang diputar di kepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa
jahatnya perbuatan saya dulu.

Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati...,
mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya
goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas
kembali di pikiran saya.

Ya Eric, mommy akan menjemputmu Eric...
Sore itu saya memarkir mobil Civic biru saya disamping sebuah gubuk,
dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa
yang sebenarnya terjadi?"

"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
yang telah saya lakukan dulu," tapi aku menceritakannya juga dengan
terisak-isak... Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian.

Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad
dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua
meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah
saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric... Eric... Saya
meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu.

Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan
membuka pintu yang terbuat dari bambu itu... Gelap sekali... Tidak
terlihat sesuatu apapun juga! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan
kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun
juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai
tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai
berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju
butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya...

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, sayapun
keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat
itu saya hanya diam saja.
Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan
tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami.
Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian
terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang
wanita tua.

Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan
suaranya yang parau, "Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"
Dengan memberanikan diri, sayapun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan
seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"

Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk!!
Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini,
Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena
tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal
Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai
pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti
itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia
belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis
ini untukmu..."

Sayapun membaca tulisan di kertas itu... "Mommy, mengapa Mommy tidak
pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric
yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan
marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."

Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan...
Katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan menyayanginya
sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong
katakan...!!!"
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

"Nyonya, semua sudah terlambat (dengan nada lembut). Sehari sebelum
nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang
gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi
menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani
masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan
pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap
dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan
deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu
Nyonya di sana. Nyonya, dosa anda tidak terampuni!"

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Marry Scheleery

Tidak ada komentar: